Pages

Thursday, November 8, 2012

Power of Media, Power to Control


Oleh: Ramanda Jahansyahtono

Saya jadi teringat Ketika saya masih kecil, saya sering diuluki sebagai “Antagonis Pembawa sial”. Naas sekali bukan? Sebuah julukan yang cukup menyayat hati. Tahu tidak kenapa gelar naas itu bisa sampai disematkan pada saya? Ingin tahu? Serius? Ah kalian itu memang selalu ingin tau saja. Tapi tak apa, akan kuceritakan kenapa aku bisa dijuluki “Sang Antagonis Pembawa Sial”.



Gelar kehormatan ini kudapat sejak aku berumur sekitar 6 tahun. Orang tua ku melihat sebuah keanehan pada diri anak sulung mereka (saya). Pasalnya, anak kesayangan mereka itu selalu mengidolakan dan ingin menjadi seperti setiap tokoh antagonis film atau cerita. Contohnya,  alih-alih menyukai Kakashi atau Naruto di manga seri Naruto, saya malah menggilai Orochimaru, tokoh antagonis yang digambarkan sangat jahat dan ingin melakukan pemberontakan. Begitu juga pada cerita-cerita yang lain. Aku lebih mengidolakan Goblin ketimbang Spiderman, ingin menjadi Voldemort dalam film Harry Potter, dan selalu menaruh empati kepada Malin Kundang atas nasib naasnya. Saya sering membayangkan, jika Malin tidak menjadi batu, mungkin saja sekarang saudagar kaya itu bisa menjadi juragan rumah makan yang dapat menarik banyak tenaga kerja.

Bahkan, entah setan apa yang merasuki saya, suatu hari saya sempat berfikir bahwa Abu Jahal (dalam sejarah Islam) adalah orang yang baik dan memiliki rasa loyalitas yang kuat pada agamanya. Akibatnya saya dikecam majelis mushala pengajian belakang rumah, dan dihukum skors, tak boleh ikut sekolah agama selama satu minggu. Saya senang.

Sempat saya juga pernah disebut si anak Dajjal oleh ustad setempat, karena menyanyikan lagu Kamen Rider jahat  di pengeras suara mesjid (dulu nyanyian Kamen Rider pernah sangat popular di kalangan warga Garut).

Aku sendiri sering merasa heran kenapa tokoh-tokoh yang saya idamkan tidak pernah berasal dari tokoh heroik yang digambarkan si pembuat film atau cerita, bukannya sang pahlawan superhero alih-alih idolaku adalah orang-orang malang yang diceritakan memiiliki sejarah suram dalam hidupnya. Dalam setiap seri film Ultraman, bukan malah merasa senang ketika Ultraman berhasil menghancurkan monster, saya malah bersimpati pada monster-monster bernasib malang yang tak tahu menahu tiba-tiba muncul di bumi dan dihancurkan. Aku sering merasa iba pada sanak keluarga monster yang sedang menunggu dirumah. Aku malah sering melonjak kegirangan ketika Ultraman jatuh tersungkur ke tanah.

Sungguh aneh, super sekali.

Tapi akhir-akhir ini baru  aku menyadari bahwa pola fikir aneh itu tak sepenuhnya salah, dilandasi dengan fakta bahwa kita tidak bisa menilai, apalagi menjustifikasi moral tindakan seseorang hanya berdasarkan sumber informasi yang sepihak. Film itu diceritakan dan dibuat oleh pengarang cerita, sedangkan pengarang cerita memiliki pandangan sendiri akan baik atau buruk sehingga berpengaruh pada plot cerita dan pengkharakteran tokoh. Terkadang keberpihakan dan interpretasi pembuat film suka mengaburkan cerita asli dari film tersebut. dalam artian, sebenarnya “mungkin” orang yang sebenarnya kita tidak jahat, digambarkan menjadi orang jahat dalam film.

Informasi yang tidak lengkap menjadikan kita sukar untuk melakukan peniliaian secara objektif.  Kita selalu terpaku oleh plot dan sosok heroik seorang tokoh atau karakter dalam sebuah cerita sehingga “tersulap” dan lupa untuk kita lebih jauh mengkritisi nilai kebenaran dan keaslian yang terkandung dalam cerita yang bersangkutan. Karena mau tidak mau, cerita yang dibawa oleh seseorang akan melalui proses interpretasi si pembuat cerita tersebut, yang tentunya dipengaruhi oleh sudut pandang dan keberpihakan pembuat cerita atau si sumber informasi. Terkadang juga ada banyak informasi atau hal-hal yang tidak diketahui atau bahkan sengaja dihilangkan sehingga penilaian kita hanya sebatas satu pihak dan tidak menyeluruh sehingga mengaburkan keobjektifitasan penilaian kita. Mungkin, aku juga sempat berfikit alangkah baiknya, jika memungkinkan, aku ingin sekali mewawancarai Monster dalam film Ultraman mengenai kenapa, dan apa motif alasan mereka datang ke bumi, sehingga mungkin untuk cerita seri film selanjutnya bisa di buat Lembaga Swadaya Monster yang bisa melindungi hak-hak monster yang tertindas.

Bahkan aku sendiri masih tidak percaya sepenuhnya pada plot heroik kebajikan legenda king Athur pendragon. Tau kan king Athur? Tahu kan? Tau? Masa tidak tahu? Ya sudahlah, saya sendiri juga tidak tahu. King Athur diceritakan sebagai kesatria dari kerajaan Britania (sekarang Inggris) bersama dengan teman-temannya yang disebut sebagai knight of round table yang berhasil mengalahkan ribuan suku barbar Saxon dan memberikan kemenangan untuk Inggris pernah juga suatu saat  diceritakan dia berhasil membantai ribuan bahkan jutaan kaum saxon untuk melindungi seorang kaisar dari Roma. Namun pertanyaannya, benarkah jika orang-orang mengatakan itu adalah aksi heroik? bukankah pasukan Briton itu sendiri yang sebenarnya pertama menyulutkan api dengan menjajah bangsa saxon? Lalu bisa kah secara moral kita benarkan tindakan itu? Salahkah perlawanan bangsa Saxon untuk mempertahankan tanah, keluarga anak-anak dan keadilan bagi mereka?. Ya, mungkin untuk Geofrey Monmouth] -penulis pertama buku tentang kehidupan Athur - Athur adalah seorang tokoh pahlawan, protagonist dan patut di cintai. Karena mereka adalah sesama orang inggris dan dia juga dapat hidup nyaman semasa hidupnya berkat Artur, Namun bagaimanakah kisah Athur jika di ceritakan oleh bangsa Saxon yang sudah kehilangan tanah, keluarga, orang yang yang dicintainya? Saya rasa, bangsa Saxon menyimpan lebih banyak rahasia tentang siapa Athur yang terkubur bersama puing-puing reruntuhan peradaban mereka..

Jika boleh saya berargumentasi, apa yang sudah saya jelaskan itu – kalau di terapkan di dunia modern sekarang – adalah produk hasil Politik dan media Massa.. Politik dan media massa dapat digunakan sebagai alat untuk mempengaruhi sudut pandang, penilaian, atau bahkan reaksi orang  terhadap suatu fenomena -bisa seorang tokoh, keadaan, ideologi, kebijakan atau sebuah pemikiran-. Bedanya, hanya jika masa lalu pengaruh itu diturunkan melalui lisan dan buku sedangkan sekarang diturunkan melalui Media massa. Media massa mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola dan reaksi kita untuk menilai sesuatu.  Baik dalam berita, film atau bahkan iklan.

Film Rambo contohnya, kisah heroik yang booming pada tahun 1982  itu menceritakan perang Amerika dan Vietnam, yang dimana terdapat seorang prajuit super bernama Rambo-setengah dewa- yang tak terkalahkan melawan ribuan pasukan Vietnam. Dalam film itu dikisahkan Rambo tak pernah sekalipun mengalami kekalahan. Padahal kenyataannya pada perang Vietnam anak mengatyang berlangsung sejak 1945 s.d 1975 itu, Amerika serikat mengalami kekalahan yang jelas.  Banyak postulat yang menjelaskan bahwa film ini mengindikasikan bahwa seakan-akan bertujuan untuk membuat mindset bahwa Amerika adalah sosok superpower tak terkalahkan, sang pembela kebenaran, dan pelindung orang lemah. Dan ingin mengaburkan pikiran dan pandangan orang tentang kekalahan Amerika di perang Vietnam, sehingga dapat melemah kan wibawa Amerika. Memang hal ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah apakah memang benar Amerika membuat konspirasi seperti ini, karena kesulitan kita mengukur niat dan alasan dibalik pembuatan film. Karena alasan (apalagi yang tak diucapkan tidak bisa diukur dan dinilai secara ilmiah). Tapi yang jelas aku benci Amerika. Tapi saya suka wanita Amerika.

Propaganda dan Konspirasi juga digunakan dalam memerangi war on terror. Content dalam pemilihan redaksi kata media massa harus dicurigai, untuk tujuan manipulasi consent dunia atas pandangan mereka pada negera-negara timur tengah atau Negara-negara dunia ketiga.

Pencurian kapal jika dilakukan oleh pihak tentara sekutu “barat” di sebut sebagai interception, namun kenapa jika ketika dilakukan oleh Hamas maka disebut sebagai Hijack?. kenapa ketika Al-qaeda melakukan bom bunuh diri disebut dengan suicide bomber sedang kan ketika Israel menggunakan bom yang meluluh lantahkan satu rumah sakit di Gaza dikatakana sebagai collateral damage? Hal ini menunjukan bahwa memungkinkan adanya konpirasi untuk memperburuk pencitraan Negara timur tengah sehinggaa barat bisa mendapatkan justifikasi legal untuk melakukan tujuan tersendirinya di Negara bersangkutan. Pola seperti ini juga terjadi ketika Barat sedang berperang melawan Negara-negara komunis. Pola seperti inilah yang memunulkan fenomena communist fobia di banyak belahan dunia.

Jadi benarkah kita jika serta merta mengutuki Negara-negara timur tengah berdasarkan sumber berita yang notabene berasal dari barat(lawanya)? Saya tidak bermaksud untuk mengatakan anda salah, namun, juga tidak mengatakan benar juga. Saya hanya ingin mengajak anda untuk berfikir lebih kritis lagi terhadap masalah seperti ini, sehingga kita tidak serta merta melontarkan prejudice yang belum tentu benar adanya.

Akhirnya, saya bukan bermaksud menuduh dan mengumpati Negara Barat atas usaha politik menggunakan media, baik itu film ataupun berita, karena jika mereka bilang memberikan pengaruh adalah hak mereka untuk melakukannya. Namun, saya lebih suka untuk bilang, ini adalah perang, perang pengaruh. Sehingga dalam perang, tak ada yang patut disalahkan.

Maka alangkah lebih bijaknya jika senantiasa untuk selalu kritis dan tidak mudah percaya bahkan pada media massa sekalipun. Bukan berarti tidak boleh membaca media atau menonton film, tetapi melainkan harus lebih bersikap kritis karena disamping sebagai sumber informasi, media massa dan film jika digunakan oleh kekuatan politik dapat digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan penilaian kita, bahkan dapat mengaburkan penilaian kita. Kita tidak boleh jadi orang yang buta akan kebenaran.


0 comments:

Post a Comment