Oleh: Ramanda Jahansyahtono
Saya jadi teringat Ketika saya masih kecil, saya sering diuluki sebagai “Antagonis Pembawa sial”. Naas sekali bukan? Sebuah julukan yang cukup menyayat hati. Tahu tidak kenapa gelar naas itu bisa sampai disematkan pada saya? Ingin tahu? Serius? Ah kalian itu memang selalu ingin tau saja. Tapi tak apa, akan kuceritakan kenapa aku bisa dijuluki “Sang Antagonis Pembawa Sial”.
Gelar kehormatan ini kudapat sejak aku
berumur sekitar 6 tahun. Orang tua ku melihat sebuah keanehan pada diri anak
sulung mereka (saya). Pasalnya, anak kesayangan mereka itu selalu mengidolakan
dan ingin menjadi seperti setiap tokoh antagonis film atau cerita. Contohnya, alih-alih menyukai Kakashi atau Naruto
di manga seri Naruto, saya malah menggilai
Orochimaru, tokoh antagonis yang digambarkan sangat jahat dan ingin melakukan
pemberontakan. Begitu juga pada cerita-cerita yang lain. Aku lebih mengidolakan
Goblin ketimbang Spiderman, ingin menjadi Voldemort dalam film Harry Potter,
dan selalu menaruh empati kepada Malin Kundang atas nasib naasnya. Saya sering
membayangkan, jika Malin tidak menjadi batu, mungkin saja sekarang saudagar
kaya itu bisa menjadi juragan rumah makan yang dapat menarik banyak tenaga
kerja.
Bahkan, entah setan apa yang merasuki
saya, suatu hari saya sempat berfikir bahwa Abu Jahal (dalam sejarah Islam)
adalah orang yang baik dan memiliki rasa loyalitas yang kuat pada agamanya.
Akibatnya saya dikecam majelis mushala pengajian belakang rumah, dan dihukum
skors, tak boleh ikut sekolah agama selama satu minggu. Saya senang.
Sempat saya juga pernah disebut si anak
Dajjal oleh ustad setempat, karena menyanyikan lagu Kamen Rider jahat di pengeras suara mesjid (dulu
nyanyian Kamen Rider pernah sangat popular di kalangan warga Garut).
Aku sendiri sering merasa heran kenapa
tokoh-tokoh yang saya idamkan tidak pernah berasal dari tokoh heroik yang
digambarkan si pembuat film atau cerita, bukannya sang pahlawan superhero
alih-alih idolaku adalah orang-orang malang yang diceritakan memiiliki sejarah
suram dalam hidupnya. Dalam setiap seri film Ultraman, bukan malah merasa
senang ketika Ultraman berhasil menghancurkan monster, saya malah bersimpati
pada monster-monster bernasib malang yang tak tahu menahu tiba-tiba muncul di
bumi dan dihancurkan. Aku sering merasa iba pada sanak keluarga monster yang
sedang menunggu dirumah. Aku malah sering melonjak kegirangan ketika Ultraman
jatuh tersungkur ke tanah.
Sungguh aneh, super sekali.
Tapi akhir-akhir ini baru aku menyadari bahwa pola fikir aneh
itu tak sepenuhnya salah, dilandasi dengan fakta bahwa kita tidak bisa menilai,
apalagi menjustifikasi moral tindakan seseorang hanya berdasarkan sumber
informasi yang sepihak. Film itu diceritakan dan dibuat oleh pengarang cerita,
sedangkan pengarang cerita memiliki pandangan sendiri akan baik atau buruk
sehingga berpengaruh pada plot cerita dan pengkharakteran tokoh. Terkadang
keberpihakan dan interpretasi pembuat film suka mengaburkan cerita asli dari
film tersebut. dalam artian, sebenarnya “mungkin” orang yang sebenarnya kita
tidak jahat, digambarkan menjadi orang jahat dalam film.
Informasi yang tidak lengkap menjadikan
kita sukar untuk melakukan peniliaian secara objektif. Kita selalu terpaku oleh plot
dan sosok heroik seorang tokoh atau karakter dalam sebuah cerita sehingga
“tersulap” dan lupa untuk kita lebih jauh mengkritisi nilai kebenaran dan
keaslian yang terkandung dalam cerita yang bersangkutan. Karena mau tidak mau,
cerita yang dibawa oleh seseorang akan melalui proses interpretasi si pembuat
cerita tersebut, yang tentunya dipengaruhi oleh sudut pandang dan keberpihakan
pembuat cerita atau si sumber informasi. Terkadang juga ada banyak informasi
atau hal-hal yang tidak diketahui atau bahkan sengaja dihilangkan sehingga
penilaian kita hanya sebatas satu pihak dan tidak menyeluruh sehingga
mengaburkan keobjektifitasan penilaian kita. Mungkin, aku juga sempat berfikit
alangkah baiknya, jika memungkinkan, aku ingin sekali mewawancarai Monster
dalam film Ultraman mengenai kenapa, dan apa motif alasan mereka datang ke
bumi, sehingga mungkin untuk cerita seri film selanjutnya bisa di buat Lembaga
Swadaya Monster yang bisa melindungi hak-hak monster yang tertindas.
Bahkan aku sendiri masih tidak percaya
sepenuhnya pada plot heroik kebajikan legenda king Athur pendragon. Tau kan
king Athur? Tahu kan? Tau? Masa tidak tahu? Ya sudahlah, saya sendiri juga
tidak tahu. King Athur diceritakan sebagai kesatria dari kerajaan Britania
(sekarang Inggris) bersama dengan teman-temannya yang disebut sebagai knight of round table yang berhasil mengalahkan ribuan
suku barbar Saxon dan memberikan kemenangan untuk
Inggris pernah juga suatu saat diceritakan dia berhasil
membantai ribuan bahkan jutaan kaum saxon untuk melindungi seorang kaisar dari
Roma. Namun pertanyaannya, benarkah
jika orang-orang mengatakan itu adalah aksi heroik? bukankah pasukan Briton itu
sendiri yang sebenarnya pertama menyulutkan api dengan menjajah bangsa saxon? Lalu bisa kah secara
moral kita benarkan tindakan itu? Salahkah perlawanan bangsa Saxon untuk mempertahankan tanah, keluarga
anak-anak dan keadilan bagi mereka?. Ya, mungkin untuk Geofrey Monmouth] -penulis pertama buku tentang
kehidupan Athur - Athur adalah seorang tokoh pahlawan, protagonist dan patut di
cintai. Karena mereka adalah sesama orang inggris dan dia juga dapat hidup
nyaman semasa hidupnya berkat Artur, Namun bagaimanakah kisah Athur jika di
ceritakan oleh bangsa Saxon yang sudah kehilangan tanah,
keluarga, orang yang yang dicintainya? Saya rasa, bangsa Saxon menyimpan lebih banyak rahasia tentang
siapa Athur yang terkubur bersama puing-puing reruntuhan peradaban mereka..
Jika boleh saya berargumentasi, apa yang
sudah saya jelaskan itu – kalau di terapkan di dunia modern sekarang – adalah
produk hasil Politik dan media Massa.. Politik dan media massa dapat digunakan
sebagai alat untuk mempengaruhi sudut pandang, penilaian, atau bahkan reaksi
orang terhadap suatu
fenomena -bisa seorang tokoh, keadaan, ideologi, kebijakan atau sebuah
pemikiran-. Bedanya, hanya jika masa lalu pengaruh itu diturunkan melalui lisan
dan buku sedangkan sekarang diturunkan melalui Media massa. Media massa
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola dan reaksi kita untuk menilai
sesuatu. Baik dalam berita,
film atau bahkan iklan.
Film Rambo contohnya, kisah heroik yang
booming pada tahun 1982 itu
menceritakan perang Amerika dan Vietnam, yang dimana terdapat seorang prajuit
super bernama Rambo-setengah dewa- yang tak terkalahkan melawan ribuan pasukan
Vietnam. Dalam film itu dikisahkan Rambo tak pernah sekalipun mengalami
kekalahan. Padahal kenyataannya pada perang Vietnam anak mengatyang berlangsung
sejak 1945 s.d 1975 itu, Amerika serikat mengalami kekalahan yang jelas. Banyak postulat yang menjelaskan
bahwa film ini mengindikasikan bahwa seakan-akan bertujuan untuk membuat mindset bahwa Amerika adalah sosok superpower
tak terkalahkan, sang pembela kebenaran, dan pelindung orang lemah. Dan ingin
mengaburkan pikiran dan pandangan orang tentang kekalahan Amerika di perang
Vietnam, sehingga dapat melemah kan wibawa Amerika. Memang hal ini tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah apakah memang benar Amerika membuat konspirasi seperti
ini, karena kesulitan kita mengukur niat dan alasan dibalik pembuatan film.
Karena alasan (apalagi yang tak diucapkan tidak bisa diukur dan dinilai secara
ilmiah). Tapi yang jelas aku benci Amerika. Tapi saya suka wanita Amerika.
Propaganda dan Konspirasi juga digunakan
dalam memerangi war on terror. Content dalam pemilihan redaksi
kata media massa harus dicurigai, untuk tujuan manipulasi consent dunia atas pandangan mereka pada
negera-negara timur tengah atau Negara-negara dunia ketiga.
Pencurian kapal jika dilakukan oleh pihak
tentara sekutu “barat” di sebut sebagai interception,
namun kenapa jika ketika dilakukan oleh Hamas maka disebut sebagai Hijack?. kenapa ketika Al-qaeda
melakukan bom bunuh diri disebut dengan suicide
bomber sedang
kan ketika Israel menggunakan bom yang meluluh lantahkan satu rumah sakit di
Gaza dikatakana sebagai collateral
damage? Hal ini menunjukan
bahwa memungkinkan adanya konpirasi untuk memperburuk pencitraan Negara timur
tengah sehinggaa barat bisa mendapatkan justifikasi legal untuk melakukan
tujuan tersendirinya di Negara bersangkutan. Pola seperti ini juga terjadi
ketika Barat sedang berperang melawan Negara-negara komunis. Pola seperti
inilah yang memunulkan fenomena communist
fobia di banyak belahan
dunia.
Jadi benarkah kita jika serta merta
mengutuki Negara-negara timur tengah berdasarkan sumber berita yang notabene
berasal dari barat(lawanya)? Saya tidak bermaksud untuk mengatakan anda salah,
namun, juga tidak mengatakan benar juga. Saya hanya ingin mengajak anda untuk
berfikir lebih kritis lagi terhadap masalah seperti ini, sehingga kita tidak
serta merta melontarkan prejudice yang belum tentu benar adanya.
Akhirnya, saya bukan bermaksud menuduh dan
mengumpati Negara Barat atas usaha politik menggunakan media, baik itu film
ataupun berita, karena jika mereka bilang memberikan pengaruh adalah hak mereka
untuk melakukannya. Namun, saya lebih suka untuk bilang, ini adalah perang,
perang pengaruh. Sehingga dalam perang, tak ada yang patut disalahkan.
Maka alangkah lebih bijaknya jika
senantiasa untuk selalu kritis dan tidak mudah percaya bahkan pada media massa
sekalipun. Bukan berarti tidak boleh membaca media atau menonton film, tetapi
melainkan harus lebih bersikap kritis karena disamping sebagai sumber
informasi, media massa dan film jika digunakan oleh kekuatan politik dapat
digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan penilaian kita, bahkan dapat
mengaburkan penilaian kita. Kita tidak boleh jadi orang yang buta akan
kebenaran.
0 comments:
Post a Comment