Friday, November 9, 2012
Mengintip Trend Spring 2013
Oleh: Razan Izazi
Sudah siap kah
dengan trend Spring 2013? Tidak
terasa fall/winter sebentar lagi akan
berlalu. Para designer kenamaan dunia pun telah menggelar show koleksi mereka
untuk spring/summer 2013 mendatang.
Pasti para Unpaders penasaran kan sama trend apa lagi yang dibawa oleh para
designer tersebut untuk spring/summer
mendatang? Sekarang kami akan mengajak kalian mengintip sedikit mengenai trend fashion ready-to-wear untuk spring/summer 2013 mendatang.
Ready-to-wear 2013 kali ini tidak
terlalu menonjolkan cutting, potongan
baju yang terlihat di koleksi musim ini cukup simpel... Namun, musim ini sangat
mengandalkan warna. Warna-warna pastel yang menjadi primadona di beberapa musim
lalu kini sudah agak menurun pamornya. Koleksi musim ini didominasi oleh
warna-warna bold, seperti merah,
biru, hingga warna-warna neon seperti hijau, pink, dan kuning. Koleksi ready-to-wear musim ini juga banyak
mengandalkan motif dan detail, detail-detail unik terlihat di beberapa koleksi ready-to-wear musim ini. Namun, belum
lengkap namanya spring kalo gak ada bunga kan, Unpaders? Nah, di koleksi spring
2013 ini motif bunga masih tetap menjadi primadona banyak designer. Untuk lebih
jelasnya kita intip aja yuk trend koleksi ready-to-wear
spring 2013 yang baru saja di
pamerkan di Paris Fashion Week pada 25 September – 3 Oktober 2012 lalu.
·
Deep Ocean
Warna biru tua seperti warna laut ini, menjadi primadona
banget nih... Terlihat dari banyaknya designer yang menggunakan warna ini untuk
koleksi ready-to-wear mereka. Sebut
saja Elie Saab, Chanel, Burberry Prorsum, Issey Miyake, dan John Galliano.
Terlebih lagi, Elie Saab menjadikan baju dengan warna deep ocean ini menjadi first
look mereka.
·
Red Alert
Warna merah kini juga mendominasi warna untuk koleksi ready-to-wear Spring 2013 ini. Warna bold ini cukup menggantikan warna-warna
pastel yang sempat hits beberapa musim yang lalu. Warna merah ini menghiasi runway Elie Saab, Burberry Prorsum, dan
Diane von Futstenberg.
·
High
Detail & Pattern
Koleksi musim ini cukup jauh dari kesan clean pattern. Mungkin karena cutting pada koleksi musim ini cukup
simpel, maka para designer pun memilih untuk membuat steatment pada detail dan pattern.
Detail dan pattern yang cukup menarik
di musim ini ada di runway Chanel,
Dolce&Gabbana, dan Issey Miyake.
·
Neon Neon!
Mari tinggalkan baju-baju warna pastel kalian! :p
Bersiaplah untuk warna-warna yang lebih berani seperti hijau, kuning, dan pink
karena koleksi ready-to-wear Spring
2013 ini cukup banyak menampilkan warna-warna neon. Lihat saja koleksi dari
Diane von Futstenberg, Phillip Lim, Issey Miyake, dan Burberry Prorsum J
· Flower Power
Yup, Spring memang belum lengkap tanpa bunga. Oleh karena itu para
designer pun tetap menampilkan aksen bunga di beberapa look untuk koleksi mereka. Designer-designer yang masih setia
menampilkan aksen bunga-bungaan di koleksi mereka adalah Chanel, Marc by Marc
Jacobs, Diane von Futstenberg, dan Dolce&Gabbana.
Sumber Foto : www.style.com
Kegiatan Adat Jatinangor
Oleh: Poetry Ken Savitri
Kegiatan adat yang disebut Kuda Ronggeng masih dilakukan di daerah Jatinangor (6/11)
Universe Cup 2012
Oleh: Poetry Ken Savitri
Tim yang dikirimkan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD memenangkan pertandingan atas Fakultas MIPA dari UGM dengan skor akhir 31-19 untuk FIKOM (05/11)
Donor Darah di Unpad
Jatinangor - Halaman lapangan parkir Jurusan Kimia Fakultas MIPA Unpad, dipenuhi oleh peserta pendonor darah, dalam acara Chem Food (Chemistry For Blood) yang diadakan oleh Badan Eksekutif Kimia Fakultas MIPA Unpad, Kamis (8/11). Acara tersebut bertujuan untuk selain menjalankan program terakhir dari Departemen Sosial di Badan Eksekutif jurusan Kimia Unpad, juga untuk membantu pasien-pasien yang
membutuhkan darah di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung.
Dalam acara tersebut, target kantung darah yang diperoleh mencapai 100 kantung. Acara yang bertajuk Chem Food ini menurut Rio Permana salah satu mahasiswa jurusan Kimia yang sekaligus menjadi Badan Eksekutif Departemen Sosial Kimia 2010-2011 melatarbelakangi bahwa banyaknya mahasiswa terutama jurusan Kimia yang sebelum-sebelumnya selalu ikut untuk megikuti acara donor darah di Fakultas Kedokteran Unpad, Rio sebagai BE Kimia 2010-2011 mengadakan acara tersebut yang masuk dalam program kerja terakhirnya.
Target acara tersebut tidak hanya mahasiswa jurusan Kimia saja yang bisa
menyalurkan darahnya, namun dari luar fakultas bahkan luar kampus juga. Hasil donor
darah yang diperoleh akan disalurkan pada masyarakat yang membutuhkan di RSHS.
Acara ini juga bekerjasama dengan salah satu bidang Pengabdian Mayarakat
dari Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menurut Dudung Irwana salah satu Staf di
bidang tersebut, dan sekaligus menjadi staf Administrasi Fakultas Kedokteran Unpad,
menegaskan “Anak Fakultas kedokteran Unpad selalu Praktik di Rumah Sakit Hasan
Sadikin, dan acara tersebut menjadi ajang mahasiswa untuk mengabdi dan
mempraktikan pelajarannya di lapangan”.
Acara tersebut merupakan acara pertama diadakan oleh selain jurusan Fakultas
Kedokteran Unpad, sehingga kendala-kendala yang terjadi seperti pesiapan dan cara
kerjasama yang kurang, lalu dikarenakan departemen sosial di Badan Eksekutif Kimia
tersebut masih sedikit anggotanya.
Menurut Dudung Irwana, acara tersebut penting, namun hingga sekarang, di
ranah Unpad sendiri acara tersebut adalah acara Fakultas ke dua setelah Fakultas
Kedokteran mengadakan donor darah. Dan ia berharap tidak hanya Fakultas yang
menggeluti ilmu eksakta saja yang mengadakan acara seperti itu, juga Fakultas sosial
pun ikut mengadakan demi membantu masyarakat yang membutuhkan.
(Indra Irawan)
Demonstrasi Mahasiswa terhadap Pemerintah
Oleh: Poetry Ken Savitri
Thursday, November 8, 2012
Power of Media, Power to Control
Oleh: Ramanda Jahansyahtono
Saya jadi teringat Ketika saya masih kecil, saya sering diuluki sebagai “Antagonis Pembawa sial”. Naas sekali bukan? Sebuah julukan yang cukup menyayat hati. Tahu tidak kenapa gelar naas itu bisa sampai disematkan pada saya? Ingin tahu? Serius? Ah kalian itu memang selalu ingin tau saja. Tapi tak apa, akan kuceritakan kenapa aku bisa dijuluki “Sang Antagonis Pembawa Sial”.
Gelar kehormatan ini kudapat sejak aku
berumur sekitar 6 tahun. Orang tua ku melihat sebuah keanehan pada diri anak
sulung mereka (saya). Pasalnya, anak kesayangan mereka itu selalu mengidolakan
dan ingin menjadi seperti setiap tokoh antagonis film atau cerita. Contohnya, alih-alih menyukai Kakashi atau Naruto
di manga seri Naruto, saya malah menggilai
Orochimaru, tokoh antagonis yang digambarkan sangat jahat dan ingin melakukan
pemberontakan. Begitu juga pada cerita-cerita yang lain. Aku lebih mengidolakan
Goblin ketimbang Spiderman, ingin menjadi Voldemort dalam film Harry Potter,
dan selalu menaruh empati kepada Malin Kundang atas nasib naasnya. Saya sering
membayangkan, jika Malin tidak menjadi batu, mungkin saja sekarang saudagar
kaya itu bisa menjadi juragan rumah makan yang dapat menarik banyak tenaga
kerja.
Bahkan, entah setan apa yang merasuki
saya, suatu hari saya sempat berfikir bahwa Abu Jahal (dalam sejarah Islam)
adalah orang yang baik dan memiliki rasa loyalitas yang kuat pada agamanya.
Akibatnya saya dikecam majelis mushala pengajian belakang rumah, dan dihukum
skors, tak boleh ikut sekolah agama selama satu minggu. Saya senang.
Sempat saya juga pernah disebut si anak
Dajjal oleh ustad setempat, karena menyanyikan lagu Kamen Rider jahat di pengeras suara mesjid (dulu
nyanyian Kamen Rider pernah sangat popular di kalangan warga Garut).
Aku sendiri sering merasa heran kenapa
tokoh-tokoh yang saya idamkan tidak pernah berasal dari tokoh heroik yang
digambarkan si pembuat film atau cerita, bukannya sang pahlawan superhero
alih-alih idolaku adalah orang-orang malang yang diceritakan memiiliki sejarah
suram dalam hidupnya. Dalam setiap seri film Ultraman, bukan malah merasa
senang ketika Ultraman berhasil menghancurkan monster, saya malah bersimpati
pada monster-monster bernasib malang yang tak tahu menahu tiba-tiba muncul di
bumi dan dihancurkan. Aku sering merasa iba pada sanak keluarga monster yang
sedang menunggu dirumah. Aku malah sering melonjak kegirangan ketika Ultraman
jatuh tersungkur ke tanah.
Sungguh aneh, super sekali.
Tapi akhir-akhir ini baru aku menyadari bahwa pola fikir aneh
itu tak sepenuhnya salah, dilandasi dengan fakta bahwa kita tidak bisa menilai,
apalagi menjustifikasi moral tindakan seseorang hanya berdasarkan sumber
informasi yang sepihak. Film itu diceritakan dan dibuat oleh pengarang cerita,
sedangkan pengarang cerita memiliki pandangan sendiri akan baik atau buruk
sehingga berpengaruh pada plot cerita dan pengkharakteran tokoh. Terkadang
keberpihakan dan interpretasi pembuat film suka mengaburkan cerita asli dari
film tersebut. dalam artian, sebenarnya “mungkin” orang yang sebenarnya kita
tidak jahat, digambarkan menjadi orang jahat dalam film.
Informasi yang tidak lengkap menjadikan
kita sukar untuk melakukan peniliaian secara objektif. Kita selalu terpaku oleh plot
dan sosok heroik seorang tokoh atau karakter dalam sebuah cerita sehingga
“tersulap” dan lupa untuk kita lebih jauh mengkritisi nilai kebenaran dan
keaslian yang terkandung dalam cerita yang bersangkutan. Karena mau tidak mau,
cerita yang dibawa oleh seseorang akan melalui proses interpretasi si pembuat
cerita tersebut, yang tentunya dipengaruhi oleh sudut pandang dan keberpihakan
pembuat cerita atau si sumber informasi. Terkadang juga ada banyak informasi
atau hal-hal yang tidak diketahui atau bahkan sengaja dihilangkan sehingga
penilaian kita hanya sebatas satu pihak dan tidak menyeluruh sehingga
mengaburkan keobjektifitasan penilaian kita. Mungkin, aku juga sempat berfikit
alangkah baiknya, jika memungkinkan, aku ingin sekali mewawancarai Monster
dalam film Ultraman mengenai kenapa, dan apa motif alasan mereka datang ke
bumi, sehingga mungkin untuk cerita seri film selanjutnya bisa di buat Lembaga
Swadaya Monster yang bisa melindungi hak-hak monster yang tertindas.
Bahkan aku sendiri masih tidak percaya
sepenuhnya pada plot heroik kebajikan legenda king Athur pendragon. Tau kan
king Athur? Tahu kan? Tau? Masa tidak tahu? Ya sudahlah, saya sendiri juga
tidak tahu. King Athur diceritakan sebagai kesatria dari kerajaan Britania
(sekarang Inggris) bersama dengan teman-temannya yang disebut sebagai knight of round table yang berhasil mengalahkan ribuan
suku barbar Saxon dan memberikan kemenangan untuk
Inggris pernah juga suatu saat diceritakan dia berhasil
membantai ribuan bahkan jutaan kaum saxon untuk melindungi seorang kaisar dari
Roma. Namun pertanyaannya, benarkah
jika orang-orang mengatakan itu adalah aksi heroik? bukankah pasukan Briton itu
sendiri yang sebenarnya pertama menyulutkan api dengan menjajah bangsa saxon? Lalu bisa kah secara
moral kita benarkan tindakan itu? Salahkah perlawanan bangsa Saxon untuk mempertahankan tanah, keluarga
anak-anak dan keadilan bagi mereka?. Ya, mungkin untuk Geofrey Monmouth] -penulis pertama buku tentang
kehidupan Athur - Athur adalah seorang tokoh pahlawan, protagonist dan patut di
cintai. Karena mereka adalah sesama orang inggris dan dia juga dapat hidup
nyaman semasa hidupnya berkat Artur, Namun bagaimanakah kisah Athur jika di
ceritakan oleh bangsa Saxon yang sudah kehilangan tanah,
keluarga, orang yang yang dicintainya? Saya rasa, bangsa Saxon menyimpan lebih banyak rahasia tentang
siapa Athur yang terkubur bersama puing-puing reruntuhan peradaban mereka..
Jika boleh saya berargumentasi, apa yang
sudah saya jelaskan itu – kalau di terapkan di dunia modern sekarang – adalah
produk hasil Politik dan media Massa.. Politik dan media massa dapat digunakan
sebagai alat untuk mempengaruhi sudut pandang, penilaian, atau bahkan reaksi
orang terhadap suatu
fenomena -bisa seorang tokoh, keadaan, ideologi, kebijakan atau sebuah
pemikiran-. Bedanya, hanya jika masa lalu pengaruh itu diturunkan melalui lisan
dan buku sedangkan sekarang diturunkan melalui Media massa. Media massa
mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola dan reaksi kita untuk menilai
sesuatu. Baik dalam berita,
film atau bahkan iklan.
Film Rambo contohnya, kisah heroik yang
booming pada tahun 1982 itu
menceritakan perang Amerika dan Vietnam, yang dimana terdapat seorang prajuit
super bernama Rambo-setengah dewa- yang tak terkalahkan melawan ribuan pasukan
Vietnam. Dalam film itu dikisahkan Rambo tak pernah sekalipun mengalami
kekalahan. Padahal kenyataannya pada perang Vietnam anak mengatyang berlangsung
sejak 1945 s.d 1975 itu, Amerika serikat mengalami kekalahan yang jelas. Banyak postulat yang menjelaskan
bahwa film ini mengindikasikan bahwa seakan-akan bertujuan untuk membuat mindset bahwa Amerika adalah sosok superpower
tak terkalahkan, sang pembela kebenaran, dan pelindung orang lemah. Dan ingin
mengaburkan pikiran dan pandangan orang tentang kekalahan Amerika di perang
Vietnam, sehingga dapat melemah kan wibawa Amerika. Memang hal ini tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah apakah memang benar Amerika membuat konspirasi seperti
ini, karena kesulitan kita mengukur niat dan alasan dibalik pembuatan film.
Karena alasan (apalagi yang tak diucapkan tidak bisa diukur dan dinilai secara
ilmiah). Tapi yang jelas aku benci Amerika. Tapi saya suka wanita Amerika.
Propaganda dan Konspirasi juga digunakan
dalam memerangi war on terror. Content dalam pemilihan redaksi
kata media massa harus dicurigai, untuk tujuan manipulasi consent dunia atas pandangan mereka pada
negera-negara timur tengah atau Negara-negara dunia ketiga.
Pencurian kapal jika dilakukan oleh pihak
tentara sekutu “barat” di sebut sebagai interception,
namun kenapa jika ketika dilakukan oleh Hamas maka disebut sebagai Hijack?. kenapa ketika Al-qaeda
melakukan bom bunuh diri disebut dengan suicide
bomber sedang
kan ketika Israel menggunakan bom yang meluluh lantahkan satu rumah sakit di
Gaza dikatakana sebagai collateral
damage? Hal ini menunjukan
bahwa memungkinkan adanya konpirasi untuk memperburuk pencitraan Negara timur
tengah sehinggaa barat bisa mendapatkan justifikasi legal untuk melakukan
tujuan tersendirinya di Negara bersangkutan. Pola seperti ini juga terjadi
ketika Barat sedang berperang melawan Negara-negara komunis. Pola seperti
inilah yang memunulkan fenomena communist
fobia di banyak belahan
dunia.
Jadi benarkah kita jika serta merta
mengutuki Negara-negara timur tengah berdasarkan sumber berita yang notabene
berasal dari barat(lawanya)? Saya tidak bermaksud untuk mengatakan anda salah,
namun, juga tidak mengatakan benar juga. Saya hanya ingin mengajak anda untuk
berfikir lebih kritis lagi terhadap masalah seperti ini, sehingga kita tidak
serta merta melontarkan prejudice yang belum tentu benar adanya.
Akhirnya, saya bukan bermaksud menuduh dan
mengumpati Negara Barat atas usaha politik menggunakan media, baik itu film
ataupun berita, karena jika mereka bilang memberikan pengaruh adalah hak mereka
untuk melakukannya. Namun, saya lebih suka untuk bilang, ini adalah perang,
perang pengaruh. Sehingga dalam perang, tak ada yang patut disalahkan.
Maka alangkah lebih bijaknya jika
senantiasa untuk selalu kritis dan tidak mudah percaya bahkan pada media massa
sekalipun. Bukan berarti tidak boleh membaca media atau menonton film, tetapi
melainkan harus lebih bersikap kritis karena disamping sebagai sumber
informasi, media massa dan film jika digunakan oleh kekuatan politik dapat
digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan penilaian kita, bahkan dapat
mengaburkan penilaian kita. Kita tidak boleh jadi orang yang buta akan
kebenaran.
Jilbab dan Korupsi
Oleh: Ramanda Jahansyahtono
Akhir-akhir ini,
kita sering dikagetkan oleh kebiasaan baru yang aneh nan luar biasa yang
dilakukan oleh para koruptor, yaitu “kontes model kerudung para koruptor”.
Bagaimana mau tidak kaget? Para koruptor cantik itu mendadak terlihat menjadi
“alim” di depan khalayak dengan merubah penampilan menggunakan jilbab, cadar,
baju koko, atau peci.
Tentu kita masih ingat bagaimana mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, tersangka kasus dugaan suap Wisma atlet SEA Games yang tiba-tiba muncul dihadapan pers saat persidangan dengan menggunakan busana muslim dan menggunakan cadar. Padahal dulunya dia tidak berkerudung. Kita juga tentu masih ingat Neneng Sri wahyuni terdakwa kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, saat mendatangi kantor KPK untuk diperiksa secara tiba-tiba juga menggunakan busana muslim dab bercadar. Seperti tak ingin kalah, Nunun Nurbaeti pun (masih dalam kasus yang sama dengan Neneng Sri wahyuni) seakan-akan ingin menyaingi para “model kerudung koruptor” lainya, tidak seperti hari-hari biasa, ketika persidangan atau ketika harus muncul dihadapam KPK , turut serta memakai busana islami sembari komat kamit berdoa dan bertasbih menggunakan tasbih ketika dalam persidangan. Begitu pula dengan para koruptor lainya, seperti Malinda dee, Angelina sondakh, Nazzarudin dan lainya. Semua seakan saling bersaing menjadi yang “teralim”.
Alhasil, “kontes ilegal” ini memicu keresahan sebagian kalangan khususnya kaum muslim karena dinilai sebagai perusakan citra. Menurut ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) se-Indonesia, Tutty Alawiyah, hal tersebut bisa saja merugikan umat muslim karena akan berpengaruh pada nama baik umat muslim itu sendiri. “Kalau tiba-tiba saja mereka mengenakan jilbab saat sudah tertangkap, padahal sebelumnya mereka tidak pernah, ini tentunya sangat merugikan muslimah dan umat Islam,” ujar Tutty seperti dikutip dari Republika,Jumat(22/6/2012).
Hal serupa juga diutarakan oleh Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khoffifah Indar Parawansa, pada Jumat (22/6). "Memakai busana itu hak setiap individu yang menunjukkan identitasnya. Baik sebagai pribadi maupun penganut agama tertentu. Tapi kini trennya baju koko, kopiah, dan jilbab yang mengidentifikasikan muslim taat selalu dikenakan di persidangan. Masalah ini sejak lama sudah menjadi pertanyaan di hati saya."
Lalu, apa kemungkinan alasan mereka melakukan hal seperti ini?
Jika kita mengacu pada konsep Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation Of Everyday Live. Fenomena tersebut bisa disebut sebagai Dramaturgi. Dramaturgi menjelaskan bahwa dalam system masyarakat, setiap anggotanya memainkan peran tertentu, dimana berdasarkan sebuah kesepakatan untuk menghasilkan persepsi tertentu orang terhadapnya.
Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus Jilbab korupsi, dimana koruptor menjalankan perannya di lingkungan masyarakat dengan sangat manipulatif. Mereka berusaha mengontrol diri dengan merubah dan mengontrol penampilan, keadaan fisik, dan perilaku aktual dan gerak agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak dapat diketahui oleh lingkungan mereka. Atau bisa untuk menarik simpati orang banyak.
Namun, secara tidak disadadari, hal tersebut tentunya bukan malah menimbulkan simpati, alih-alih malah menimbulkan masalah yang lebih besar.
Peter D. Moss (1999) mengatakan bahwa wacana media massa seperti berita di surat kabar merupakan konstruk kultural yang dibentuk oleh ideologi yang bersifat subjektif. Sebagai produk media massa, berita dalam surat kabar sering kali menggunakan frameatau kerangka tertentu untuk memahami realitas atau kenyataan. Lewat isinya, surat kabar memberikan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa yang benar, siapa yang salah, bagaimana yang baik terlihat dan bagaimana yang buruk terlihat, hal ini juga dapat membentuk sebuah kerangka pemahaman yang sebenarnya tidak terjadi namun seakan-akan terjadi. Seperti kasus penggunaan kerudung diatas.
Selain itu, perusakan citra ini terjadi karena adanya efek repetisi visual. Karena harus diakui bahwa manusia akan lebih mudah mengingat, fokus dan secara langsung terbentuk sebuah pendeskripsian didalam alam bawah sadar mereka terhadap sesuatu ketika hal tersebut mereka lihat secara berulang-ulang. Itulah alasanya kenapa kita cenderung untuk lebih memilih suatu produk yang sering kita lihat di iklan daripada yang tidak, hal ini membuktikan bahwa informasi yang sering ditayangkan dengan intensitas dan pengulangan, walaupun berbeda namun dengan pola yang sama dimedia massa akan membentuk pola fikir dan perilaku kita terhadap sesuatu. Begitu juga halnya dengan kasus koruptor yang berjilbab, karena banyak orang yang menggunakan jilbab dalam persidangan, maka secara tidak sengaja akan terbentuk sebuah kesan dalam alam bawah sadar dalam khalayak bahwa koruptor identik dengan muslim atau busana muslim identik dengan koruptor. Akhirnya membentuk suatu konstruksi sosial tentang realitas tentang muslim. Inilah yang mungkin menjadi alasan Ketua majelis Ekonomi PP Muhammadiah Syariffudin Anhar ketika bertemu dengan republika, selasa (19/6) menilai tindakan seperti ini membahayakan umat muslim. "Berbahaya jika kemudian muncul pemikiran publik jika para terdakwa koruptor mengenakan busana Muslimah ataupun pakaian Muslim lainnya tidak mencerminkan sikap sebagaimana Muslim sejati," ujarnya.
Jikalau merujuk kepada konsep branding, bahwa busana adalah salah satu simbol dan trademark dari agama tertentu yang memiliki tempat yang spesial dalam agama tersebut. Busana memiliki kesejajaran “brand” dengan kitab suci, cara ritual, doa, tempat peribadatan dan logo-logo religious lainya. Hal tersebut bahkan bisa ditarik kesejajaranya (walaupun masih bisa diperdebatkan) dengan bendera di suatu negara.
Sehingga, simbol-simbol tersebut melambangkan kesucian dan ketinggian ajaran tertentu. Tentu jika melihat sebuah pola kelakuan koruptor yang secara tiba-tiba menggunakan busana muslim hanya ketika dalam pengadilan atau ketika terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal bisa dikatakan sebagai tindakan disengaja untuk melecehkan busana muslim yang sama saja dengan melecehkan suatu golongan agama tertentu.
Tetapi masalahnya tetap saja tidak bisa diimplementasikan pada ranah hukum, karena masalah dan alasan mereka tidak bias kita ketahui. Apakah mereka benar-benar ikhlas atau membual itu tidak akan pernah bias kita ketahui.
Tentu kita masih ingat bagaimana mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, tersangka kasus dugaan suap Wisma atlet SEA Games yang tiba-tiba muncul dihadapan pers saat persidangan dengan menggunakan busana muslim dan menggunakan cadar. Padahal dulunya dia tidak berkerudung. Kita juga tentu masih ingat Neneng Sri wahyuni terdakwa kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, saat mendatangi kantor KPK untuk diperiksa secara tiba-tiba juga menggunakan busana muslim dab bercadar. Seperti tak ingin kalah, Nunun Nurbaeti pun (masih dalam kasus yang sama dengan Neneng Sri wahyuni) seakan-akan ingin menyaingi para “model kerudung koruptor” lainya, tidak seperti hari-hari biasa, ketika persidangan atau ketika harus muncul dihadapam KPK , turut serta memakai busana islami sembari komat kamit berdoa dan bertasbih menggunakan tasbih ketika dalam persidangan. Begitu pula dengan para koruptor lainya, seperti Malinda dee, Angelina sondakh, Nazzarudin dan lainya. Semua seakan saling bersaing menjadi yang “teralim”.
Alhasil, “kontes ilegal” ini memicu keresahan sebagian kalangan khususnya kaum muslim karena dinilai sebagai perusakan citra. Menurut ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) se-Indonesia, Tutty Alawiyah, hal tersebut bisa saja merugikan umat muslim karena akan berpengaruh pada nama baik umat muslim itu sendiri. “Kalau tiba-tiba saja mereka mengenakan jilbab saat sudah tertangkap, padahal sebelumnya mereka tidak pernah, ini tentunya sangat merugikan muslimah dan umat Islam,” ujar Tutty seperti dikutip dari Republika,Jumat(22/6/2012).
Hal serupa juga diutarakan oleh Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khoffifah Indar Parawansa, pada Jumat (22/6). "Memakai busana itu hak setiap individu yang menunjukkan identitasnya. Baik sebagai pribadi maupun penganut agama tertentu. Tapi kini trennya baju koko, kopiah, dan jilbab yang mengidentifikasikan muslim taat selalu dikenakan di persidangan. Masalah ini sejak lama sudah menjadi pertanyaan di hati saya."
Lalu, apa kemungkinan alasan mereka melakukan hal seperti ini?
Jika kita mengacu pada konsep Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation Of Everyday Live. Fenomena tersebut bisa disebut sebagai Dramaturgi. Dramaturgi menjelaskan bahwa dalam system masyarakat, setiap anggotanya memainkan peran tertentu, dimana berdasarkan sebuah kesepakatan untuk menghasilkan persepsi tertentu orang terhadapnya.
Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus Jilbab korupsi, dimana koruptor menjalankan perannya di lingkungan masyarakat dengan sangat manipulatif. Mereka berusaha mengontrol diri dengan merubah dan mengontrol penampilan, keadaan fisik, dan perilaku aktual dan gerak agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak dapat diketahui oleh lingkungan mereka. Atau bisa untuk menarik simpati orang banyak.
Namun, secara tidak disadadari, hal tersebut tentunya bukan malah menimbulkan simpati, alih-alih malah menimbulkan masalah yang lebih besar.
Peter D. Moss (1999) mengatakan bahwa wacana media massa seperti berita di surat kabar merupakan konstruk kultural yang dibentuk oleh ideologi yang bersifat subjektif. Sebagai produk media massa, berita dalam surat kabar sering kali menggunakan frameatau kerangka tertentu untuk memahami realitas atau kenyataan. Lewat isinya, surat kabar memberikan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa yang benar, siapa yang salah, bagaimana yang baik terlihat dan bagaimana yang buruk terlihat, hal ini juga dapat membentuk sebuah kerangka pemahaman yang sebenarnya tidak terjadi namun seakan-akan terjadi. Seperti kasus penggunaan kerudung diatas.
Selain itu, perusakan citra ini terjadi karena adanya efek repetisi visual. Karena harus diakui bahwa manusia akan lebih mudah mengingat, fokus dan secara langsung terbentuk sebuah pendeskripsian didalam alam bawah sadar mereka terhadap sesuatu ketika hal tersebut mereka lihat secara berulang-ulang. Itulah alasanya kenapa kita cenderung untuk lebih memilih suatu produk yang sering kita lihat di iklan daripada yang tidak, hal ini membuktikan bahwa informasi yang sering ditayangkan dengan intensitas dan pengulangan, walaupun berbeda namun dengan pola yang sama dimedia massa akan membentuk pola fikir dan perilaku kita terhadap sesuatu. Begitu juga halnya dengan kasus koruptor yang berjilbab, karena banyak orang yang menggunakan jilbab dalam persidangan, maka secara tidak sengaja akan terbentuk sebuah kesan dalam alam bawah sadar dalam khalayak bahwa koruptor identik dengan muslim atau busana muslim identik dengan koruptor. Akhirnya membentuk suatu konstruksi sosial tentang realitas tentang muslim. Inilah yang mungkin menjadi alasan Ketua majelis Ekonomi PP Muhammadiah Syariffudin Anhar ketika bertemu dengan republika, selasa (19/6) menilai tindakan seperti ini membahayakan umat muslim. "Berbahaya jika kemudian muncul pemikiran publik jika para terdakwa koruptor mengenakan busana Muslimah ataupun pakaian Muslim lainnya tidak mencerminkan sikap sebagaimana Muslim sejati," ujarnya.
Jikalau merujuk kepada konsep branding, bahwa busana adalah salah satu simbol dan trademark dari agama tertentu yang memiliki tempat yang spesial dalam agama tersebut. Busana memiliki kesejajaran “brand” dengan kitab suci, cara ritual, doa, tempat peribadatan dan logo-logo religious lainya. Hal tersebut bahkan bisa ditarik kesejajaranya (walaupun masih bisa diperdebatkan) dengan bendera di suatu negara.
Sehingga, simbol-simbol tersebut melambangkan kesucian dan ketinggian ajaran tertentu. Tentu jika melihat sebuah pola kelakuan koruptor yang secara tiba-tiba menggunakan busana muslim hanya ketika dalam pengadilan atau ketika terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal bisa dikatakan sebagai tindakan disengaja untuk melecehkan busana muslim yang sama saja dengan melecehkan suatu golongan agama tertentu.
Tetapi masalahnya tetap saja tidak bisa diimplementasikan pada ranah hukum, karena masalah dan alasan mereka tidak bias kita ketahui. Apakah mereka benar-benar ikhlas atau membual itu tidak akan pernah bias kita ketahui.
Lalu, harus bagaimana?
Hal ini merupakan pilihan yang sulit, karena konflik antara hak untuk menggunakan dan bertindak apa saja yang dijamin oleh Negara dengan kepentingan public secara general. Makadari itu, salah satu cara yang bisa dilakukan sekarang adalah dengan meningkatkan ksedaranan melek media, sehingga orang-orang tidak akan dengan mudahnya terpengaruh oleh pemberitaan media massa.
Penyadapan KPK VS Hak Privasi
Utilitarian Point of View: Penyadapan KPK VS Hak Privasi
Oleh: Ramanda Jahanysahtono
Apakah anda akrab dengan nama Nicholas Machiaveli? kalau tidak, Jeremy Bentham? Atau J.S Mill?
Kalau memang tidak tahu, ya tidak apa-apa. Tapi perlu anda ingat mereka adalah tokoh-tokoh filsafat politik yang pemikirannya sudah dicatat dalam sejarah perpolitikan. Karena, selain Machiavelli, semua tokoh diatas terkenal dengan pemikiran mereka tentang Moral principle yang kita kenal sebagai utilitarianism. Utilitarianism adalah “The doctrine that an action is right in so far as it promotes happiness, and that the greatest happiness of the greatest number should be the guiding principle of conduct”. Artinya Utilitarianism adalah sebuah landasan moral yang mengatakan bahwa tindakan yang benar dan tepat adalah tindakan yang menghasilkan kebaikan atau kemaslahatan bagi banyak pihak. Konsep utilitarian juga sering dikenal dengan jargonnya, the greatest good, is a greater number.
Menurut J.S Mill, founder konsep utilitarian, kebijakan atau hukum, dalam menghadapi suatu masalah dimana harus memilih antara dua pihak yang harus dikorbankan, maka kebijakan tersebut harus berpihak pada pihak yang besar manfaatnya. Dengan kata lain dengan mengorbankan pihak yang paling kecil jumlahnya atau yang paling sedikit merugikan. Bahkan bisa kita saja mengorbankan Hak seseorang untuk kepentingan hak orang yang lebih banyak. Mill menyebutnya dengan Maximizing Utility.
Logika Utilitarian inilah yang seharusnya gunakan untuk menganalisis masalah kontroversi Revisi UU No 30 KPK, tentang penggunaan penyadapan atau intersepsi untuk membongkar kasus tindak pidana Korupsi. Karena dengan jelas, sesuai dengan prinsip Negara demokrasi kita, yang akan selalu memihak pada rakyat, dimana, rakyat adalah pihak yang menurut Mill sebagai the greatest number atau jumlah hak terbanyak.
Isu tentang Revisi UU No 30 KPK tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan ini diawali dalam rapat internal Komisi III DPR tanggal 3 Juli 2012, dimana pada saat itu, banyak fraksi partai yang menyetujui adanya revisi kewenangan KPK untuk menggunakan penyadapan, atau intersepsi alat komunikasi.
Apa yang dimaksud dengan penyadapan? Dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No 11/2008 yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Beberapa pihak memandang (DPR adalah pihak yang paling getol menyuarakannya), bahwa kegiatan penyadapan KPK ini sudah banyak mengganggu hak atas privasi banyak orang. Para pendukung kebijakan Revisi UU KPK ini melandaskan argumentasinya pada dasar Hak Asasi Manusia. Dimana, dengan penyadapan itu, maka hak seseorang akan melukai hak privasi seseorang. Sehingga mereka mengajukan agar KPK dalam melakukan intersepsi atau penyadapan baru bisa dilakukan setelah adanya izin atau penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tipikor sesuai dengan rencana revisi UU KPK.
Hal ini lantas membuat kecewa berbagai pihak, karena jika kita lihat, bahwa kisah sukses KPK selama ini karena tidak ada hambatan soal izin. Selama ini, KPK berhasil menangkap proses suap-menyuap setelah melakukan penyadapan sebelumnya. Hasil sadapan ini diputar di pengadilan tindak pidana korupsi untuk menguatkan dakwaan.
Sehingga, dengan adanya revisi tentang peraturan penyadapan jelas akan mengurangi wewenang KPK untuk mengusut kasus korupsi. Mengutip kata-kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, yang dimuat di berita harian Kompas Online tanggal 27 September 2012, beliau mengatakan bahwa "Penyadapan itu menjadi kekuatan kami. Bayangkan saja kalau yang mau disadap itu orang pengadilan. Mengajukan izin, surat itu masuk ke panitera dulu. Kalau paniteranya tidak berintegritas, tidak bermoral, langsung dibocori. Nangis Mas Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK), yang lain juga nangis. Ini logika yang sulit dipahami akal yang waras. Menyedihkan sekali,". Dengan kata lain, adanya izin, maka akan membatasi keleluasaan KPK untuk mengusut kasus korupsi yang merupakan masalah rakyat banyak.
Korupsi sudah merugikan Negara secara besar-besaran. Berdasarkan pada laporan ICW, contohnya, dari tiga sektor yang paling dirugikan, yakni sector investasi pemerintah, keuangan daerah, dan sector sosial kemasyarakatan, Negara pada tahun 2011 setidaknya rugi triliunan rupiah. Pertama, dari sektor investasi pemerintah, potensi kerugian negara mencapai Rp 439 miliar. Kedua, sektor keuangan daerah dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 417,4 miliar. Ketiga, sektor sosial kemasyarakatan, yakni korupsi yang kasusnya berkaitan dengan dana-dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat, yang diperkirakan mencapai Rp 299 miliar.
Tingginya kerugian negara dari sektor investasi pemerintah, salah satunya karena investasi pemerintah di bidang pendidikan terbukti merupakan kasus korupsi terbanyak sepanjang tahun 2011.
Hal ini menunjukan bahwa penyadapan KPK adalah satu satunya cara, dan terbukti sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas kasus korupsi yang sudah merugikan banyak pihak khususnya rakyat.
Dari penjelasan diatas maka dapat kita lihat bahwa masalah ini adalah konflik antara Hak Privasi dan Kepentingan Nasional untuk melakukan pemberantasan Kasus Korupsi. Karena saat ini, kebijakan harus memilih antara dua pilihan, hak privasi seseorang, namun mengorbankan keefektivitasan KPK dalam mengusut kasus korupsi, atau mengorbankan hak privasi “yang tidak seberapa” demi memberikan keleluasaan KPK dalam memberantas kasus Korupsi, atau kepentingan orang banyak.
Jika kita kembali melandaskan pemikiran kita pada konsep Utilitarian, maka jelas mana yang harus dilakukan. Tentu, kepentingan rakyat banyaklah yang harus lebih diutamakan.
Pertama, Mengorbankan hak privasi seseorang bukan hal yang mahal demi memberantas korupsi yang sudah merugikan Negara, lagi pula, KPK tidak akan sewenang-wenang melakukan penyadapan, tentu mereka akan melakukan penyadapan kepada pihak yang memang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Jika memang tidak terbukti melakukan korupsi, toh tidak akan merugikan. Menurut Bentham kualitas hak itu, dilihat dari rasa sakit yang ditimbulkan jika hak tersebut dilanggar. Jika pada kasus hak akan privasi, memang benar akan ada hak yang dilanggar, yakni hak kebebasan seseorang akan privasi, namun hak tersebut lebih rendah nilainya jika dibandingkan dengan hak 40 juta warga miskin yang dirugikan oleh kasus korupsi. Karena bantuan untuk mereka merupakan kepentingan hidup dan mati mereka. Sehingga nilai hak privasi akan menjadi lebih kecil dibanding hak orang banyak untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik mereka.
Kedua, walaupun ia memang nanti dalam pelaksanaan nya ada penyalah gunaan wewenang dari KPK, sebenarnya tidak usah ditakui, karena KPk adalah lembaga yang beroperasi dibawah hukum. Dimana setiap tindakan dan kebijakan yang diambil KPK akan selalu berandaskan pada hukum, sehingga dapat pula dibawa pada pengadilan ranah hukum. Akhirnya jika ada kesalahan dan penyalah gunaan, seseorang yang haknya misalnya terlanggar tetap bisa mengadukannya dan bahkan akan dilindungi oleh hukum.
Disamping itu, jika misalnya kita tetap harus mengesampingkan teori utilitarian, dan menganggap hak orang akan privasi tetap absolute dan tidak boleh diganggu gugat, tetap ada ambiguitas dan kontradiksi dari revisi undang-undang. Karena pada prinsip nya penyadapan tetap boleh dilakukan namun dengan adanya izin dari pengadilan negri. Jika memang itu adanya, tetap saja berarti mereka mengizinkan adanya penyadapan. Pertanyaanya jika, hak akan privasi adalah absolute, maka kenapa penyadapan tetap boleh dilakukan dengan adanya izin dari pengadilan, memangnya siapa yang berhak menentukan hak seseorang jika memang benar hak adalah hal yang absolut?
Kenapa utilitarian bisa dijadikan dasar pemikiran untuk merumuskan masalah di Indonesia? Karena pada prinsipnya, hukum kita juga menerapkan prinsip ini. Terlihat dari kasus sejenis tentang penggunaan penyadapan dalam UU Terorime dan UU Antinarkoba. Penyadapanpun diberikan wewenang. Hal ini menunjukan bahwa Negara memberikan wewenang untuk mengorbankan hak privasi tersangka teroris atau pengedar narkoba untuk kepentingan bersama. Karena, teroris dinilai membahayakan banyak pihak.
Namun, kenapa harus dibedakan? Kenapa penyadapan tanpa izin bisa dilakukan pada Terorisme dan narkoba sedangkan pada tindak pidana korupsi tidak? Apa bedanya? Apakah karena jika dalam kasus terorisme yang menjadi sasarannya adalah orang berjenggot dan berbaju putih—putih? Apakah karena dalam UU Antinarkoba targetnya adalah orang-orang asing? Atau karena dalam UU KPK targetnya adalah orang-orang yang membuat peraturan sendiri?
Tidak, pada prinsipnya semua orang sama, dihadapan hukum orang memiliki hak yang sama, dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Artinya, tidak boleh ada pemisahan dan pengkategoriannya, sehingga peraturan dan hukum pun harus memperlakukan sama. Karena Korupsi, terorisme, dan Narkoba adalah sama-sama musuh Negara yang harus diberantas, tak ada bedanya. Itulah kenapa John Rawls, seorang filsafat politik dalam bukunya A Theory of Justice, mengatakan bahwa “ The principle of justice are chosen behind the veil of ignorance” yang artinya bahwa, keadilan dalam hukum harus mengabaikan status sosial atau perbedaan-perbedaan itu.
Jika memang benar begitu adanya, maka tak salah halnya jika Negara (sebagai perwakilan rakyat) untuk menerapkan apa yang Machiavelis percayai dimana end always justifies the means. Kemaslahatan rakyat (baca: pemberantasan korupsi), akan segala menghalalkan segala cara. Maka konsep utilitarian sejalan dengan apa yang kita percayai selama ini.
Apakah anda akrab dengan nama Nicholas Machiaveli? kalau tidak, Jeremy Bentham? Atau J.S Mill?
Kalau memang tidak tahu, ya tidak apa-apa. Tapi perlu anda ingat mereka adalah tokoh-tokoh filsafat politik yang pemikirannya sudah dicatat dalam sejarah perpolitikan. Karena, selain Machiavelli, semua tokoh diatas terkenal dengan pemikiran mereka tentang Moral principle yang kita kenal sebagai utilitarianism. Utilitarianism adalah “The doctrine that an action is right in so far as it promotes happiness, and that the greatest happiness of the greatest number should be the guiding principle of conduct”. Artinya Utilitarianism adalah sebuah landasan moral yang mengatakan bahwa tindakan yang benar dan tepat adalah tindakan yang menghasilkan kebaikan atau kemaslahatan bagi banyak pihak. Konsep utilitarian juga sering dikenal dengan jargonnya, the greatest good, is a greater number.
Menurut J.S Mill, founder konsep utilitarian, kebijakan atau hukum, dalam menghadapi suatu masalah dimana harus memilih antara dua pihak yang harus dikorbankan, maka kebijakan tersebut harus berpihak pada pihak yang besar manfaatnya. Dengan kata lain dengan mengorbankan pihak yang paling kecil jumlahnya atau yang paling sedikit merugikan. Bahkan bisa kita saja mengorbankan Hak seseorang untuk kepentingan hak orang yang lebih banyak. Mill menyebutnya dengan Maximizing Utility.
Logika Utilitarian inilah yang seharusnya gunakan untuk menganalisis masalah kontroversi Revisi UU No 30 KPK, tentang penggunaan penyadapan atau intersepsi untuk membongkar kasus tindak pidana Korupsi. Karena dengan jelas, sesuai dengan prinsip Negara demokrasi kita, yang akan selalu memihak pada rakyat, dimana, rakyat adalah pihak yang menurut Mill sebagai the greatest number atau jumlah hak terbanyak.
Isu tentang Revisi UU No 30 KPK tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan ini diawali dalam rapat internal Komisi III DPR tanggal 3 Juli 2012, dimana pada saat itu, banyak fraksi partai yang menyetujui adanya revisi kewenangan KPK untuk menggunakan penyadapan, atau intersepsi alat komunikasi.
Apa yang dimaksud dengan penyadapan? Dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No 11/2008 yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Beberapa pihak memandang (DPR adalah pihak yang paling getol menyuarakannya), bahwa kegiatan penyadapan KPK ini sudah banyak mengganggu hak atas privasi banyak orang. Para pendukung kebijakan Revisi UU KPK ini melandaskan argumentasinya pada dasar Hak Asasi Manusia. Dimana, dengan penyadapan itu, maka hak seseorang akan melukai hak privasi seseorang. Sehingga mereka mengajukan agar KPK dalam melakukan intersepsi atau penyadapan baru bisa dilakukan setelah adanya izin atau penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tipikor sesuai dengan rencana revisi UU KPK.
Hal ini lantas membuat kecewa berbagai pihak, karena jika kita lihat, bahwa kisah sukses KPK selama ini karena tidak ada hambatan soal izin. Selama ini, KPK berhasil menangkap proses suap-menyuap setelah melakukan penyadapan sebelumnya. Hasil sadapan ini diputar di pengadilan tindak pidana korupsi untuk menguatkan dakwaan.
Sehingga, dengan adanya revisi tentang peraturan penyadapan jelas akan mengurangi wewenang KPK untuk mengusut kasus korupsi. Mengutip kata-kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, yang dimuat di berita harian Kompas Online tanggal 27 September 2012, beliau mengatakan bahwa "Penyadapan itu menjadi kekuatan kami. Bayangkan saja kalau yang mau disadap itu orang pengadilan. Mengajukan izin, surat itu masuk ke panitera dulu. Kalau paniteranya tidak berintegritas, tidak bermoral, langsung dibocori. Nangis Mas Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK), yang lain juga nangis. Ini logika yang sulit dipahami akal yang waras. Menyedihkan sekali,". Dengan kata lain, adanya izin, maka akan membatasi keleluasaan KPK untuk mengusut kasus korupsi yang merupakan masalah rakyat banyak.
Korupsi sudah merugikan Negara secara besar-besaran. Berdasarkan pada laporan ICW, contohnya, dari tiga sektor yang paling dirugikan, yakni sector investasi pemerintah, keuangan daerah, dan sector sosial kemasyarakatan, Negara pada tahun 2011 setidaknya rugi triliunan rupiah. Pertama, dari sektor investasi pemerintah, potensi kerugian negara mencapai Rp 439 miliar. Kedua, sektor keuangan daerah dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 417,4 miliar. Ketiga, sektor sosial kemasyarakatan, yakni korupsi yang kasusnya berkaitan dengan dana-dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat, yang diperkirakan mencapai Rp 299 miliar.
Tingginya kerugian negara dari sektor investasi pemerintah, salah satunya karena investasi pemerintah di bidang pendidikan terbukti merupakan kasus korupsi terbanyak sepanjang tahun 2011.
Hal ini menunjukan bahwa penyadapan KPK adalah satu satunya cara, dan terbukti sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas kasus korupsi yang sudah merugikan banyak pihak khususnya rakyat.
Dari penjelasan diatas maka dapat kita lihat bahwa masalah ini adalah konflik antara Hak Privasi dan Kepentingan Nasional untuk melakukan pemberantasan Kasus Korupsi. Karena saat ini, kebijakan harus memilih antara dua pilihan, hak privasi seseorang, namun mengorbankan keefektivitasan KPK dalam mengusut kasus korupsi, atau mengorbankan hak privasi “yang tidak seberapa” demi memberikan keleluasaan KPK dalam memberantas kasus Korupsi, atau kepentingan orang banyak.
Jika kita kembali melandaskan pemikiran kita pada konsep Utilitarian, maka jelas mana yang harus dilakukan. Tentu, kepentingan rakyat banyaklah yang harus lebih diutamakan.
Pertama, Mengorbankan hak privasi seseorang bukan hal yang mahal demi memberantas korupsi yang sudah merugikan Negara, lagi pula, KPK tidak akan sewenang-wenang melakukan penyadapan, tentu mereka akan melakukan penyadapan kepada pihak yang memang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Jika memang tidak terbukti melakukan korupsi, toh tidak akan merugikan. Menurut Bentham kualitas hak itu, dilihat dari rasa sakit yang ditimbulkan jika hak tersebut dilanggar. Jika pada kasus hak akan privasi, memang benar akan ada hak yang dilanggar, yakni hak kebebasan seseorang akan privasi, namun hak tersebut lebih rendah nilainya jika dibandingkan dengan hak 40 juta warga miskin yang dirugikan oleh kasus korupsi. Karena bantuan untuk mereka merupakan kepentingan hidup dan mati mereka. Sehingga nilai hak privasi akan menjadi lebih kecil dibanding hak orang banyak untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik mereka.
Kedua, walaupun ia memang nanti dalam pelaksanaan nya ada penyalah gunaan wewenang dari KPK, sebenarnya tidak usah ditakui, karena KPk adalah lembaga yang beroperasi dibawah hukum. Dimana setiap tindakan dan kebijakan yang diambil KPK akan selalu berandaskan pada hukum, sehingga dapat pula dibawa pada pengadilan ranah hukum. Akhirnya jika ada kesalahan dan penyalah gunaan, seseorang yang haknya misalnya terlanggar tetap bisa mengadukannya dan bahkan akan dilindungi oleh hukum.
Disamping itu, jika misalnya kita tetap harus mengesampingkan teori utilitarian, dan menganggap hak orang akan privasi tetap absolute dan tidak boleh diganggu gugat, tetap ada ambiguitas dan kontradiksi dari revisi undang-undang. Karena pada prinsip nya penyadapan tetap boleh dilakukan namun dengan adanya izin dari pengadilan negri. Jika memang itu adanya, tetap saja berarti mereka mengizinkan adanya penyadapan. Pertanyaanya jika, hak akan privasi adalah absolute, maka kenapa penyadapan tetap boleh dilakukan dengan adanya izin dari pengadilan, memangnya siapa yang berhak menentukan hak seseorang jika memang benar hak adalah hal yang absolut?
Kenapa utilitarian bisa dijadikan dasar pemikiran untuk merumuskan masalah di Indonesia? Karena pada prinsipnya, hukum kita juga menerapkan prinsip ini. Terlihat dari kasus sejenis tentang penggunaan penyadapan dalam UU Terorime dan UU Antinarkoba. Penyadapanpun diberikan wewenang. Hal ini menunjukan bahwa Negara memberikan wewenang untuk mengorbankan hak privasi tersangka teroris atau pengedar narkoba untuk kepentingan bersama. Karena, teroris dinilai membahayakan banyak pihak.
Namun, kenapa harus dibedakan? Kenapa penyadapan tanpa izin bisa dilakukan pada Terorisme dan narkoba sedangkan pada tindak pidana korupsi tidak? Apa bedanya? Apakah karena jika dalam kasus terorisme yang menjadi sasarannya adalah orang berjenggot dan berbaju putih—putih? Apakah karena dalam UU Antinarkoba targetnya adalah orang-orang asing? Atau karena dalam UU KPK targetnya adalah orang-orang yang membuat peraturan sendiri?
Tidak, pada prinsipnya semua orang sama, dihadapan hukum orang memiliki hak yang sama, dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Artinya, tidak boleh ada pemisahan dan pengkategoriannya, sehingga peraturan dan hukum pun harus memperlakukan sama. Karena Korupsi, terorisme, dan Narkoba adalah sama-sama musuh Negara yang harus diberantas, tak ada bedanya. Itulah kenapa John Rawls, seorang filsafat politik dalam bukunya A Theory of Justice, mengatakan bahwa “ The principle of justice are chosen behind the veil of ignorance” yang artinya bahwa, keadilan dalam hukum harus mengabaikan status sosial atau perbedaan-perbedaan itu.
Jika memang benar begitu adanya, maka tak salah halnya jika Negara (sebagai perwakilan rakyat) untuk menerapkan apa yang Machiavelis percayai dimana end always justifies the means. Kemaslahatan rakyat (baca: pemberantasan korupsi), akan segala menghalalkan segala cara. Maka konsep utilitarian sejalan dengan apa yang kita percayai selama ini.
Pemilu Secara Serentak, Iya atau Tidak?
Oleh: Michael Reily
Jika formatnya jelas, saya akan setuju sekali adanya pemilu serentak. Kemudian, bukan hanya untuk efisiensi biaya dan sudut pandang pemilu sebagai proyek. Tetapi, untuk mengedepankan pesta demokrasi yang menguntungkan masyarakat, pemerintahan, dan negara.
Belakangan ini, isu akan diadakannya pemilihan umum secara
serentak semakin santer. Dewan Perwakilan Rakyat didesak oleh beberapa
anggotanya untuk segera mendesain Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala
Daerah. Selain untuk menghemat penyelenggaraan pemilu, pemilukada nasional
juga diyakini bisa meminimalisasi konflik yang ada masyarakat.
Masalahnya, dasar pendesakan pemilihan umum secara serentak
masih mengacu kepada efisiensi pengeluaraan biaya, bukan stabilisasi
pemerintahan yang ada di Indonesia. Hal ini memang diperlukan, mengingat
sebagian anggaran yang digunakan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas
Pemilu adalah untuk menggaji sumber daya manusia petugas di Tempat Pilihan
Sementara yang ada di kecamatan. Jadi, semakin sering ada pemilu, semakin boros
uang yang dikeluarkan oleh Negara. Tetapi, kalau pola pikir masyarakat bahkan
DPR pun masih saja berorientasi kepada penghematan uang, saya tidak bisa
berpikir lebih panjang lagi. Budaya yang ada di Indonesia harus diperbaiki.
Masyarakat harus lebih berkorban lagi. Sekarang ini, pemilu hanya dilihat
sebagai proyek, bukan perbaian untuk sebuah kemajuan pemerintahan.
Selain itu, penataan ulang jadwal pilkada yang berbeda-beda
setiap daerah menjadi sebuah masalah. Jika tidak diatur dengan baik, kekosongan
kekuasaan akibat system mekanisme jadwal akan menjadi sangat merugikan suatu
daerah. Stabilitas daerah pasti akan terganggu dan akan menyebabkan perebutan
kekuasaan yang pasti akan merugikan masyarakat.
Jika formatnya jelas, saya akan setuju sekali adanya pemilu serentak. Kemudian, bukan hanya untuk efisiensi biaya dan sudut pandang pemilu sebagai proyek. Tetapi, untuk mengedepankan pesta demokrasi yang menguntungkan masyarakat, pemerintahan, dan negara.
Subscribe to:
Posts (Atom)