Pages

Thursday, November 8, 2012

Penyadapan KPK VS Hak Privasi



Utilitarian Point of View: Penyadapan KPK VS Hak Privasi
Oleh: Ramanda Jahanysahtono

Apakah anda akrab dengan nama Nicholas Machiaveli? kalau tidak, Jeremy Bentham? Atau J.S Mill?

Kalau memang tidak tahu, ya tidak apa-apa. Tapi perlu anda ingat mereka adalah tokoh-tokoh filsafat politik yang pemikirannya sudah dicatat dalam sejarah perpolitikan. Karena, selain Machiavelli, semua tokoh diatas terkenal dengan pemikiran mereka tentang Moral principle yang kita kenal sebagai utilitarianism. Utilitarianism adalah “The doctrine that an action is right in so far as it promotes happiness, and that the greatest happiness of the greatest number should be the guiding principle of conduct”. Artinya Utilitarianism adalah sebuah landasan moral yang mengatakan bahwa tindakan yang benar dan tepat adalah tindakan yang menghasilkan kebaikan atau kemaslahatan bagi banyak pihak. Konsep utilitarian juga sering dikenal dengan jargonnya, the greatest good, is a greater number.

Menurut J.S Mill, founder konsep utilitarian, kebijakan atau hukum, dalam menghadapi suatu masalah dimana harus memilih antara dua pihak yang harus dikorbankan, maka kebijakan tersebut harus berpihak pada pihak yang besar manfaatnya. Dengan kata lain dengan mengorbankan pihak yang paling kecil jumlahnya atau yang paling sedikit merugikan. Bahkan bisa kita saja mengorbankan Hak seseorang untuk kepentingan hak orang yang lebih banyak. Mill menyebutnya dengan Maximizing Utility.

Logika Utilitarian inilah yang seharusnya gunakan untuk menganalisis masalah kontroversi Revisi UU No 30 KPK, tentang penggunaan penyadapan atau intersepsi untuk membongkar kasus tindak pidana Korupsi. Karena dengan jelas, sesuai dengan prinsip Negara demokrasi kita, yang akan selalu memihak pada rakyat, dimana, rakyat adalah pihak yang menurut Mill sebagai the greatest number atau jumlah hak terbanyak.

Isu tentang Revisi UU No 30 KPK tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan ini diawali dalam rapat internal Komisi III DPR tanggal 3 Juli 2012, dimana pada saat itu, banyak fraksi partai yang menyetujui adanya revisi kewenangan KPK untuk menggunakan penyadapan, atau intersepsi alat komunikasi.

Apa yang dimaksud dengan penyadapan? Dalam penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU No 11/2008 yaitu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, "intersepsi atau penyadapan" adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

Beberapa pihak memandang (DPR adalah pihak yang paling getol menyuarakannya), bahwa kegiatan penyadapan KPK ini sudah banyak mengganggu hak atas privasi banyak orang. Para pendukung kebijakan Revisi UU KPK ini melandaskan argumentasinya pada dasar Hak Asasi Manusia. Dimana, dengan penyadapan itu, maka hak seseorang akan melukai hak privasi seseorang. Sehingga mereka mengajukan agar KPK dalam melakukan intersepsi atau penyadapan baru bisa dilakukan setelah adanya izin atau penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tipikor sesuai dengan rencana revisi UU KPK.

Hal ini lantas membuat kecewa berbagai pihak, karena jika kita lihat, bahwa kisah sukses KPK selama ini karena tidak ada hambatan soal izin. Selama ini, KPK berhasil menangkap proses suap-menyuap setelah melakukan penyadapan sebelumnya. Hasil sadapan ini diputar di pengadilan tindak pidana korupsi untuk menguatkan dakwaan.

Sehingga, dengan adanya revisi tentang peraturan penyadapan jelas akan mengurangi wewenang KPK untuk mengusut kasus korupsi. Mengutip kata-kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, yang dimuat di berita harian Kompas Online tanggal 27 September 2012, beliau mengatakan bahwa "Penyadapan itu menjadi kekuatan kami. Bayangkan saja kalau yang mau disadap itu orang pengadilan. Mengajukan izin, surat itu masuk ke panitera dulu. Kalau paniteranya tidak berintegritas, tidak bermoral, langsung dibocori. Nangis Mas Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK), yang lain juga nangis. Ini logika yang sulit dipahami akal yang waras. Menyedihkan sekali,". Dengan kata lain, adanya izin, maka akan membatasi keleluasaan KPK untuk mengusut kasus korupsi yang merupakan masalah rakyat banyak.

Korupsi sudah merugikan Negara secara besar-besaran. Berdasarkan pada laporan ICW, contohnya, dari tiga sektor yang paling dirugikan, yakni sector investasi pemerintah, keuangan daerah, dan  sector sosial kemasyarakatan, Negara pada tahun 2011 setidaknya rugi triliunan rupiah.  Pertama, dari sektor investasi pemerintah, potensi kerugian negara mencapai Rp 439 miliar. Kedua, sektor keuangan daerah dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 417,4 miliar. Ketiga, sektor sosial kemasyarakatan, yakni korupsi yang kasusnya berkaitan dengan dana-dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat, yang diperkirakan mencapai Rp 299 miliar.

Tingginya kerugian negara dari sektor investasi pemerintah, salah satunya karena investasi pemerintah di bidang pendidikan terbukti merupakan kasus korupsi terbanyak sepanjang tahun 2011.

Hal ini menunjukan bahwa penyadapan KPK adalah satu satunya cara, dan terbukti sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk memberantas kasus korupsi yang sudah merugikan banyak pihak khususnya rakyat.

Dari penjelasan diatas maka dapat kita lihat bahwa masalah ini adalah konflik antara Hak Privasi dan Kepentingan Nasional untuk melakukan pemberantasan Kasus Korupsi. Karena saat ini, kebijakan harus memilih antara dua pilihan, hak privasi seseorang, namun mengorbankan keefektivitasan KPK dalam mengusut kasus korupsi, atau mengorbankan hak privasi “yang tidak seberapa” demi memberikan keleluasaan KPK dalam memberantas kasus Korupsi, atau kepentingan orang banyak.

Jika kita kembali melandaskan pemikiran kita pada konsep Utilitarian, maka jelas mana yang harus dilakukan. Tentu, kepentingan rakyat banyaklah yang harus lebih diutamakan.

Pertama, Mengorbankan hak privasi seseorang bukan hal yang mahal demi memberantas korupsi yang sudah merugikan Negara, lagi pula, KPK tidak akan sewenang-wenang melakukan penyadapan, tentu mereka akan melakukan penyadapan kepada pihak yang memang dicurigai sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Jika memang tidak terbukti melakukan korupsi, toh tidak akan merugikan. Menurut  Bentham kualitas hak itu, dilihat dari rasa sakit yang ditimbulkan jika hak tersebut dilanggar. Jika pada kasus hak akan privasi, memang benar akan ada hak yang dilanggar, yakni hak kebebasan seseorang akan privasi, namun hak tersebut lebih rendah nilainya jika dibandingkan dengan hak 40 juta warga miskin yang dirugikan oleh kasus korupsi. Karena bantuan untuk mereka merupakan kepentingan hidup dan mati mereka. Sehingga nilai hak privasi akan menjadi lebih kecil dibanding hak orang banyak untuk mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milik mereka.

Kedua, walaupun ia memang nanti dalam pelaksanaan nya ada penyalah gunaan wewenang dari KPK, sebenarnya tidak usah ditakui, karena KPk adalah lembaga yang beroperasi dibawah hukum. Dimana setiap tindakan dan kebijakan yang diambil KPK akan selalu berandaskan pada hukum, sehingga dapat pula dibawa pada pengadilan ranah hukum. Akhirnya jika ada kesalahan dan penyalah gunaan, seseorang yang haknya misalnya terlanggar tetap bisa mengadukannya dan bahkan akan dilindungi oleh hukum.

Disamping itu, jika misalnya kita tetap harus mengesampingkan teori utilitarian, dan menganggap hak orang akan privasi tetap absolute dan tidak boleh diganggu gugat, tetap ada ambiguitas dan kontradiksi dari revisi undang-undang. Karena pada prinsip nya penyadapan tetap boleh dilakukan namun dengan adanya izin dari pengadilan negri. Jika memang itu adanya, tetap saja berarti mereka mengizinkan adanya penyadapan. Pertanyaanya jika, hak akan privasi adalah absolute, maka kenapa penyadapan tetap boleh dilakukan dengan adanya izin dari pengadilan, memangnya siapa yang berhak menentukan hak seseorang jika memang benar hak adalah hal yang absolut?

Kenapa utilitarian bisa dijadikan dasar pemikiran untuk merumuskan masalah di Indonesia?  Karena pada prinsipnya, hukum kita juga menerapkan prinsip ini. Terlihat dari kasus sejenis tentang penggunaan penyadapan dalam UU Terorime dan UU Antinarkoba. Penyadapanpun diberikan wewenang. Hal ini menunjukan bahwa Negara memberikan wewenang untuk mengorbankan hak privasi tersangka teroris atau pengedar narkoba untuk kepentingan bersama. Karena, teroris dinilai membahayakan banyak pihak.

Namun, kenapa harus dibedakan? Kenapa penyadapan tanpa izin bisa dilakukan pada Terorisme dan narkoba sedangkan pada tindak pidana korupsi tidak? Apa bedanya? Apakah karena jika dalam kasus terorisme yang menjadi sasarannya adalah orang berjenggot dan berbaju putih—putih? Apakah karena dalam UU Antinarkoba targetnya adalah orang-orang asing? Atau karena dalam UU KPK targetnya adalah orang-orang yang membuat peraturan sendiri?

Tidak, pada prinsipnya semua orang sama, dihadapan hukum orang memiliki hak yang sama, dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

Artinya, tidak boleh ada pemisahan dan pengkategoriannya, sehingga peraturan dan hukum pun harus memperlakukan sama. Karena Korupsi, terorisme, dan Narkoba adalah sama-sama musuh Negara yang harus diberantas, tak ada bedanya. Itulah kenapa John Rawls, seorang filsafat politik dalam bukunya A Theory of Justice, mengatakan bahwa “ The principle of justice are chosen behind the veil of ignorance” yang artinya bahwa, keadilan dalam hukum harus mengabaikan status sosial atau perbedaan-perbedaan itu.

Jika memang benar begitu adanya, maka tak salah halnya jika Negara (sebagai perwakilan rakyat) untuk menerapkan apa yang Machiavelis percayai dimana end always justifies the means. Kemaslahatan rakyat (baca: pemberantasan korupsi), akan segala menghalalkan segala cara. Maka konsep utilitarian sejalan dengan apa yang kita percayai selama ini.

0 comments:

Post a Comment