Pages

Thursday, November 8, 2012

Jilbab dan Korupsi



Oleh: Ramanda Jahansyahtono

Akhir-akhir ini, kita sering dikagetkan oleh kebiasaan baru yang aneh nan luar biasa yang dilakukan oleh para koruptor, yaitu “kontes model kerudung para koruptor”. Bagaimana mau tidak kaget? Para koruptor cantik itu mendadak terlihat menjadi “alim” di depan khalayak dengan merubah penampilan menggunakan jilbab, cadar, baju koko, atau peci. 

Tentu kita masih ingat bagaimana mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai, Yulianis, tersangka kasus dugaan suap Wisma atlet SEA Games yang tiba-tiba muncul dihadapan pers saat persidangan dengan menggunakan busana muslim dan menggunakan cadar. Padahal dulunya dia tidak berkerudung. Kita juga tentu masih ingat Neneng Sri wahyuni terdakwa kasus suap Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, saat mendatangi kantor KPK untuk diperiksa secara tiba-tiba juga menggunakan busana muslim dab bercadar. Seperti tak ingin kalah, Nunun Nurbaeti pun (masih dalam kasus yang sama dengan Neneng Sri wahyuni) seakan-akan ingin menyaingi para “model kerudung koruptor” lainya, tidak seperti hari-hari biasa, ketika persidangan atau ketika harus muncul dihadapam KPK , turut serta memakai busana islami sembari komat kamit berdoa dan bertasbih menggunakan tasbih ketika dalam persidangan. Begitu pula dengan para koruptor lainya, seperti Malinda dee, Angelina sondakh, Nazzarudin dan lainya. Semua seakan saling bersaing menjadi yang “teralim”.

Alhasil, “kontes ilegal” ini memicu keresahan sebagian kalangan khususnya kaum muslim karena dinilai sebagai perusakan citra. Menurut ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) se-Indonesia, Tutty Alawiyah, hal tersebut bisa saja merugikan umat muslim karena akan berpengaruh pada nama baik umat muslim itu sendiri. “Kalau tiba-tiba saja mereka mengenakan jilbab saat sudah tertangkap, padahal sebelumnya mereka tidak pernah, ini tentunya sangat merugikan muslimah dan umat Islam,” ujar Tutty seperti dikutip dari Republika,Jumat(22/6/2012).

Hal serupa juga diutarakan oleh Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) Khoffifah Indar Parawansa, pada Jumat (22/6). "Memakai busana itu hak setiap individu yang menunjukkan identitasnya. Baik sebagai pribadi maupun penganut agama tertentu. Tapi kini trennya baju koko, kopiah, dan jilbab yang mengidentifikasikan muslim taat selalu dikenakan di persidangan. Masalah ini sejak lama sudah menjadi pertanyaan di hati saya." 

Lalu, apa kemungkinan alasan mereka melakukan hal seperti ini?

Jika kita mengacu pada konsep Erving Goffman, dalam bukunya The Presentation Of Everyday Live. Fenomena tersebut bisa disebut sebagai Dramaturgi. Dramaturgi menjelaskan bahwa dalam system masyarakat, setiap anggotanya memainkan peran tertentu, dimana berdasarkan sebuah kesepakatan untuk menghasilkan persepsi tertentu orang terhadapnya.

Hal ini sama seperti yang terlihat pada kasus Jilbab korupsi, dimana koruptor menjalankan perannya di lingkungan masyarakat dengan sangat manipulatif. Mereka berusaha mengontrol diri dengan merubah dan mengontrol penampilan, keadaan fisik, dan perilaku aktual dan gerak agar perilaku menyimpang yang mereka jalani tidak dapat diketahui oleh lingkungan mereka. Atau bisa untuk menarik simpati orang banyak.

Namun, secara tidak disadadari, hal tersebut tentunya bukan malah menimbulkan simpati, alih-alih malah menimbulkan masalah yang lebih besar.

Peter D. Moss (1999) mengatakan bahwa wacana media massa seperti berita di surat kabar merupakan konstruk kultural yang dibentuk oleh ideologi yang bersifat subjektif. Sebagai produk media massa, berita dalam surat kabar sering kali menggunakan frameatau kerangka tertentu untuk memahami realitas atau kenyataan. Lewat isinya, surat kabar memberikan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia: siapa yang benar, siapa yang salah, bagaimana yang baik terlihat dan bagaimana yang buruk terlihat, hal ini juga dapat membentuk sebuah kerangka pemahaman yang sebenarnya tidak terjadi namun seakan-akan terjadi. Seperti kasus penggunaan kerudung diatas.

Selain itu, perusakan citra ini terjadi karena adanya efek repetisi visual. Karena harus diakui bahwa manusia akan lebih mudah mengingat, fokus dan secara langsung terbentuk sebuah pendeskripsian didalam alam bawah sadar mereka terhadap sesuatu ketika hal tersebut mereka lihat secara berulang-ulang. Itulah alasanya kenapa kita cenderung untuk lebih memilih suatu produk yang sering kita lihat di iklan daripada yang tidak, hal ini membuktikan bahwa informasi yang sering ditayangkan dengan intensitas dan pengulangan, walaupun berbeda namun dengan pola yang sama dimedia massa akan membentuk pola fikir dan perilaku kita terhadap sesuatu. Begitu juga halnya dengan kasus koruptor yang berjilbab, karena banyak orang yang menggunakan jilbab dalam persidangan, maka secara tidak sengaja akan terbentuk sebuah kesan dalam alam bawah sadar dalam khalayak bahwa koruptor identik dengan muslim atau busana muslim identik dengan koruptor. Akhirnya membentuk suatu konstruksi sosial tentang realitas tentang muslim. Inilah yang mungkin menjadi alasan Ketua majelis Ekonomi PP Muhammadiah Syariffudin Anhar ketika bertemu dengan republika, selasa (19/6) menilai tindakan seperti ini membahayakan umat muslim. "Berbahaya jika kemudian muncul pemikiran publik jika para terdakwa koruptor mengenakan busana Muslimah ataupun pakaian Muslim lainnya tidak mencerminkan sikap sebagaimana Muslim sejati," ujarnya.

Jikalau merujuk kepada konsep branding, bahwa busana adalah salah satu simbol dan trademark dari agama tertentu yang memiliki tempat yang spesial dalam agama tersebut.  Busana memiliki kesejajaran  “brand” dengan kitab suci, cara ritual, doa, tempat peribadatan dan logo-logo religious lainya. Hal tersebut bahkan bisa ditarik kesejajaranya (walaupun masih bisa diperdebatkan) dengan bendera di suatu negara.

Sehingga, simbol-simbol  tersebut melambangkan kesucian dan ketinggian ajaran tertentu. Tentu jika melihat sebuah pola kelakuan koruptor yang secara tiba-tiba menggunakan busana muslim hanya ketika dalam pengadilan atau ketika terlibat dalam tindakan-tindakan kriminal bisa dikatakan sebagai tindakan disengaja untuk melecehkan busana muslim yang sama saja dengan melecehkan suatu golongan agama tertentu.

Tetapi masalahnya tetap saja tidak bisa diimplementasikan pada ranah hukum, karena masalah dan alasan mereka tidak bias kita ketahui. Apakah mereka benar-benar ikhlas atau membual itu tidak akan pernah bias kita ketahui.

Lalu, harus bagaimana?

Hal ini merupakan pilihan yang sulit, karena konflik antara hak untuk menggunakan dan bertindak apa saja yang dijamin oleh Negara dengan kepentingan public secara general. Makadari itu, salah satu cara yang bisa dilakukan sekarang adalah dengan meningkatkan ksedaranan melek media, sehingga orang-orang tidak akan dengan mudahnya terpengaruh oleh pemberitaan media massa.

0 comments:

Post a Comment