Belakangan ini, isu akan diadakannya pemilihan umum secara
serentak semakin santer. Dewan Perwakilan Rakyat didesak oleh beberapa
anggotanya untuk segera mendesain Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala
Daerah. Selain untuk menghemat penyelenggaraan pemilu, pemilukada nasional
juga diyakini bisa meminimalisasi konflik yang ada masyarakat.
Masalahnya, dasar pendesakan pemilihan umum secara serentak
masih mengacu kepada efisiensi pengeluaraan biaya, bukan stabilisasi
pemerintahan yang ada di Indonesia. Hal ini memang diperlukan, mengingat
sebagian anggaran yang digunakan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas
Pemilu adalah untuk menggaji sumber daya manusia petugas di Tempat Pilihan
Sementara yang ada di kecamatan. Jadi, semakin sering ada pemilu, semakin boros
uang yang dikeluarkan oleh Negara. Tetapi, kalau pola pikir masyarakat bahkan
DPR pun masih saja berorientasi kepada penghematan uang, saya tidak bisa
berpikir lebih panjang lagi. Budaya yang ada di Indonesia harus diperbaiki.
Masyarakat harus lebih berkorban lagi. Sekarang ini, pemilu hanya dilihat
sebagai proyek, bukan perbaian untuk sebuah kemajuan pemerintahan.
Selain itu, penataan ulang jadwal pilkada yang berbeda-beda
setiap daerah menjadi sebuah masalah. Jika tidak diatur dengan baik, kekosongan
kekuasaan akibat system mekanisme jadwal akan menjadi sangat merugikan suatu
daerah. Stabilitas daerah pasti akan terganggu dan akan menyebabkan perebutan
kekuasaan yang pasti akan merugikan masyarakat.
Jika formatnya jelas, saya akan setuju sekali adanya pemilu serentak. Kemudian, bukan hanya untuk efisiensi biaya dan sudut pandang pemilu sebagai proyek. Tetapi, untuk mengedepankan pesta demokrasi yang menguntungkan masyarakat, pemerintahan, dan negara.
0 comments:
Post a Comment